Senin, 21 Juli 2014

KhunFany | Hurtest

Author: Kim Ara

Cast: Nickhun Buck Horvejkul a.k.a Nickhun & Stephanie Hwang a.k.a Tiffany

Supporting Cast: Choi Seunghyun a.k.a Seunghyun

Genre: Drama, Friendship, Hurt/Comfort

Rating: General

Length: Ficlet



A/N: Hola! Saya kembali lagi dengan fanfic ngawur yang cuma dibikin satu jam :'3
Curhat dikit ya, jadi sebenernya saya itu bikin sekitar 5 fanfic di HP, tapi HP rusak jadi ilang semua T^T
Beberapa ini ngambek sih gamau bikin ff, tapi karena baru galau luar biasa, akhirnya nyerah juga, bikin ff sedih :'3
Tapi maaf, cari poster sama judul susah banget, jadi seadanya deh :'3
Oke gitu aja, semoga suka yaa :*

Kita mulai~



"Menurutmu, hal yang paling menyakitkan itu yang seperti apa?"

Pertanyaan Fany sore tadi terus menggema di kepala Nickhun. Ia berusaha keras berfikir.

Selama ini, seingatnya, rasa sakit itu selalu muncul karena Tiffany. Tapi semua rasanya sama saja, karena sama-sama sakit.

Tiba-tiba ia mendengar teriakan heboh dari luar rumahnya. Ia kenal betul dengan suara itu.
Nickhun tergopoh-gopoh membuka pintu rumahnya.

"Ada apa, Fany?" tanya Nickhun, senyum mengembang secara otomatis setiap ia melihat wajah rupawan itu.

"Mau menemaniku jalan-jalan?" tanya Fany. Matanya berbinar penuh harap.

Sedetik kemudian, Nickhun sudah menyambar mantel yang tergantung di pintu. "Tentu saja."

Fany tersenyum, mereka lalu berjalan sambil bergandengan di tengah derasnya salju.

"Mau nonton film?" tawar Nickhun.

Fany berpikir sejenak. "Boleh. Film apa?"

Nickhun ikut berpikir. "Umm, Transformer?"

"Ah, aku baru menontonnya kemarin dengan Seunghyun. Apa aku belum mengatakannya padamu?" Fany menjawab santai.

Seketika dada Nickhun terasa seperti tersengat. Ia kembali mengingat pertanyaan Fany tadi sore.
Rasa sakit inilah yang tersakit.
Saat Fany menggenggam tangannya, tapi membicarakan namja lain.
Nickhun tak suka.

"Begitu? Yasudah, terserah saja." Nickhun menjawab, berusaha terdengar santai.

Hening sejenak. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Berusaha mencari tempat tujuan.

"Ummm, bagaimana kalau ke kafe saja?" Fany memecah keheningan. "Disini dingin."

Nickhun mengamati hidung mancung Fany yang kini berwarna kemerahan.
Ia tak rela jika angin di musim dingin menyapu wajah cantik itu lebih dari ini. "As you wish.."

Fany tersenyum, kali ini ia melingkarkan lengannya di lengan Nickhun. "Kajja!" ajaknya bersemangat.

Mereka lalu tiba di sebuah kafé kecil di ujung jalan.
Fany memesan segelas cappucino dan Nickhun segelas black coffee.

"Kau memesan apa?" tanya Fany. Ia melongok, berusaha melihat isi mug yang berwarna hitam pekat itu.

Nickhun tersenyum. "Black coffee. Kau mau?"

"Yuck! Tanpa gula?"

"Tentu saja! What do you expect, hon?" Nickhun terkekeh.

Tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Fany mengulurkan tangan untuk mencicip seujung sendok minuman itu, dan hampir tersedak.
"Menjijikan!"

Nickhun tertawa lepas. "Astaga, kenapa kau nekat mencoba sih?"

"Ku pikir tidak seburuk itu." sungut Fany.

Nickhun menyeka air mata akibat tawa di sudut matanya. "Dasar pabo."

Fany mengernyit jijik ketika Nickhun meneguk kopinya dengan santai. "Kenapa kau menyukainya sih? Demi Tuhan, itu hal yang paling menjijikan di dunia."

Nickhun tersenyum penuh arti. Fany tidak tau kalau rasa pahit ini tak sepadan dengan rasa pahit yang harus terus ia telan setiap ia bersama Fany. Istilahnya 'makan hati'.

"Ah sok misterius!" sungut Fany lagi.
Nickhun terkekeh. "Ngomong-ngomong, bagaimana skripsimu?" Ia mengalihkan pembicaraan.

"Sudah hampir selesai. Seunghyun benar-benar banyak membantu." kata Fany senang.

Nickhun terdiam. Ternyata masih ada yang lebih sakit dari rasa yang tadi. Melihat ada orang lain yang lebih dibutuhkan Fany, menorehkan luka tak kasat mata di dadanya. Ini lebih sakit.

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Fany, membuyarkan lamunan Nickhun.

Nickhun menghela nafas. "Bosku sedang buruk suasana hatinya, aku tak pernah diperbolehkan pulang di bawah jam 10 malam akhir-akhir ini."

Fany mengernyit. "Lawan dia, dasar bodoh! Kau kan memiliki hak sebagai karyawan.
Atau kau keluar saja, aku yakin masih banyak perusahaan yang mau menerimamu kok."

Nickhun menggeleng. "Tak usah. Paling hanya sebentar, sampai suasana hatinya membaik."

"Lihat kantung matamu! Kau jelas-jelas kurang tidur, Khun!" bentak Fany jengkel.

Nickhun masih diam, membuat Fany tambah kesal.

"Kenapa kau susah sekali mendengarkan omonganku sih? Aku tak ingin kau sakit.." suaranya melemah, ia terdengar seperti akan menangis.

Selalu seperti ini. Fany memperlakukannya seakan dia 'sesuatu'. Fany membuatnya berharap. Tega sekali.

"Iya iya. Jangan pasang tampang seperti itu. Jelek tau." canda Nickhun.

Fany merengut. "Aku kan mencemaskanmu, pabo. Kau sahabat terbaikku."

Hebat! Fany menaburkan garam diatas luka menganga yang masih baru, masih segar.
Kali ini, Nickhun kembali merevisi pendapatnya sebelumnya.
Ini, inilah hal yang paling menyakitkan.
Fany menyayanginya, memperlakukannya sebagai sesuatu, tapi hanya itu. Kedudukan Nickhun dimatanya hanyalah sebagai sahabat.

Apakah adil? Fany yang pertama dalam segalanya di hidup Nickhun, dan Nickhun hanyalah tempat sampah Tiffany.

"Terimakasih sudah mencemaskanku~ Sekarang mari kita pulang." ajak Nickhun sambil berdiri dari kursinya. Ia tak ingin terluka lebih dari ini.

Fany mengangguk. "Ayo!"

Mereka kembali bergandengan ke rumah Fany yang hanya berjarak satu blok dari rumah Nickhun.

Sesampainya di sana, rumah Fany begitu gelap. Mereka berpandangan ragu.
Fany memutar handle-nya perlahan. "Aku pulang.."

Sedetik kemudian, lampu menyala dan semua orang melompat ke depan Fany. Ada ayahnya, kakaknya, adiknya, sahabat-sahabatnya.

"Hei ulang tahunku masih lama tau!" protes Fany sambil mengelus dadanya, masih kaget.

Nickhun menatap mereka semua dengan heran. Ia juga tak mengerti dengan kejutan ini. Tak ada seorang pun yang memberitahunya.

Saat itu juga, kerumunan orang bergeser, membuka jalan untuk seseorang yang kini berjalan menuju Fany.
Seseorang yang masuk kedalam daftar orang yang ingin kubunuh milik Nickhun, bahkan nomor satu dalam daftar itu.

Ya, Seunghyun.

Ia terlihat menawan dengan setelan jas berwarna hitam dan dasi merah. Sebuket mawar merah turut melengkapi penampilannya.
Ia berlutut di depan Fany, memegang tangan halusnya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru berwarna pink.

Tak ada yang bicara. Semua sudah tau kelanjutannya. Tapi tak ada yang bicara.
Tidak Fany yang terkejut, tidak pula Nickhun yang sedang sekuat tenaga menahan kemarahannya.

"Setelah ini aku harus kembali ke Miami, dan aku tak ingin lagi senam jantung dengan meninggalkanmu disini. Menikahlah denganku, kemudian kita pergi." suara berat itu berbicara perlahan.

Fany masih diam. Air mata yang perlahan berjatuhan menjelaskan semuanya.

"Aku tak butuh penolakan." suara tegas khas polisi milik Seunghyun mengakhiri semuanya.
Ia memakaikan cincin berlian mungil itu di jari manis Tiffany, tentu saja tanpa penolakan.

"Siapa yang bisa menolakmu, huh?" isak Fany lalu memeluk Seunghyun.

Semua yang ada disana bertepuk tangan. Bahkan Nickhun. Ia bertepuk tangan untuk dirinya sendiri yang begitu lihai bersandiwara, dan untuk waktu sandiwaranya yang akhirnya usai.
Kini ia tak perlu berpura-pura bahagia untuk Fany lagi kan? Toh, mereka akan pergi juga.

Nickhun beringsut. Perlahan ia menarik diri dari kerumunan itu, tentu saja tanpa pamit.
Ia kembali meralat perkataannya tentang hal yang paling menyakitkan. Setelah berulang kali mencari, akhirnya ia mengerti kalau ini yang paling menyakitkan.

Rasa yang tak terkatakan, tak akan sanggup di mengerti.

Bukan, bukan karena sekarang Fany sudah bertunangan. Bukan juga karena Fany akan segera ke Miami.
Tapi karena, setelah berulang kali menghindar, membantah, menolak, toh kenyataan itu akhirnya membuatnya lelah juga.
Kenyataan memaksanya mengaku.

Dan kini ia mengaku kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar